Pasaran Kata

print this page
send email

Kemarin saya melihat pertandingan karate SEA GAMES 2011 ke-26 di Tennis Indoor, Jakarta. Pertandingan hari pertama adalah Kata. Para peserta dari seluruh Asia Tenggara berusaha menampilkan yang terbaik.

Saya hanya ingin bercerita.
Mungkin bagi sebagian penonton, ada yang luput jadi perhatian. Saya menyaksikan setiap peserta bermain Kata dengan luar biasa. Ketika saya perhatikan satu persatu, Kata dari aliran non-Shotokan dominan dipergunakan. Mulai dari Aanan, Seienchin, Heiku, Kururunfa, Chatanya Kushanku, sampai Sumarimpei. Ada beberapa peserta yang menggunakan Kata aliran Shotokan, dan salah satunya dari Vietnam dan Indonesia.


Saya tidak bermasalah dengan apakah mereka menggunakan Kata Shotokan atau tidak, yang penting saya melihat dan belajar dari melihat mereka. Juga mereka pun tidak perlu mempermasalahkan orang yang mempermasalahkan mengapa tidak menggunakan Kata sesuai alirannya. Namun yang saya sedikit agak kurang setuju (terserah siapapun boleh setuju atau tidak) adalah ketika peserta dari Indonesia (beregu puteri) memainkan Kata non-Shotokan. Saya sedikit tahu bahwa mereka juga berlatar belakang Shotokan, dan dibuktikannya juga dengan memainkan Kata Gojushiho Dai. Namun secara umum mereka mempraktekkan Kata non-Shotokan.

Situasi ini pada dasarnya merupakan sebuah perkembangan dari perkembangan itu sendiri. Sekarang atlet dari aliran Shotokan bisa belajar Kata dari Kata non-Shotokan, dan juga sebaliknya seperti atlet Kata Hoang Ngan Nguyen (Juara Dunia Kata Perorangan Perempuan dari Vietnam tahun 2008 di Jepang) yang memainkan Kata Unsu Shotokan di Kejuaraan Dunia WKF 2010.

Perhatian ini juga sebagai tuntutan bagi seorang wasit dan juri di level FORKI. Wasit dan juri dari aliran Shotokan wajib tahu dan memahami Kata dari aliran non-Shotokan, sebab peserta juga beragam. Namun saya rasakan, Kata non-Shotokan, terutama di level FORKI lebih beraroma non-Shotokan dan jelas ini adalah Pasaran Kata kita, situasi dimana Kata yang sedang digemari adalah dari non-Shotokan.

Hal ini berimbas juga di dojo cabang dimana saya ikut berlatih. Sensei saya melatih juga Kata non-Shotokan ini, meski dojo kami dojo Shotokan. Sebetulnya kalau tidak tuntutan jadi wasit dan juri, saya sedikit enggan untuk mempelajari ini. Bukan karena saya tidak terbuka dengan pelajaran dan pengetahuan baru, tidak. Sebab saya menyadari, Kata Shotokan saja masih acak-acakan, belum menangkap myo (rahasia) itu. Kedengarannya utopis bila menginginkan myo itu. Apa myo itu? Saya sendiri belum menangkap seutuhnya apa myo itu dan tidak dalam tulisan ini saya  menjelaskannya.

Hanya mungkin dari lubuk hati terdalam, saya berkeinginan bahwa kohai saya, dan juga saya lebih belajar banyak Kata dari aliran Shotokan dahulu, semuanya. Paling tidak di level HAFAL bisa mempraktekkan secara mantap nilai intrinsik dari Kata Shotokan tersebut. Pernah iseng suatu ketika, saya bertanya ke salah satu peserta pada saat kejurda, dia seorang karateka beraliran Shotokan, bermainnya bagus, terutama Kata non-Shotokan, dan pada saat saya tanya hafal Kata Chinte, dia menggeleng. Saya tersenyum, meski miris. Seorang karateka Shotokan JAGO bermain Kata Chatanyara Kushanku, tapi memble dengan Kata sendiri, Chinte.

Dengarkan kawan, tulisan ini tidak memprovokasi kamu untuk tidak latihan Kata non-Shotokan, bukan. Kejar kemampuan itu, itu juga akan menambah poin dalam nilai kepribadianmu.

Saya cuma bercerita.
Hanya saya menekankan ini untuk saya dan kohai saya sendiri, meskipun mereka juga mempelajari Kata non-Shotokan. Tidak ada yang salah dengan Kata non-Shotokan, tokh mereka juga mempersembahkan medali untuk Indonesia, namun bagi saya (sendiri dan untuk kohai saya) akan lebih baik apabila kita belajar tuntas dengan apa yang kita miliki. Semoga menjadi diskusi. Osu.

0 comments:

Posting Komentar